MAN 2 Alor (Humas) - Di era disrupsi saat ini menuntut lahirnya manusia-manusia yang kapabel. Manusia yang tidak berdiam diri dalam ilusi, manusia yang tidak terpaku pada imajinasi kosong dan manusia yang hanya pasif menikmati manisnya zaman. Melainkan di era sekarang, semua tatanan kehidupan serba kompleks yang mengharuskan manusia untuk mampu menyongsong perubahan dengan aktif meningkatkan kompetensi diri.
Harus dicatat dalam benak kita bahwa di era modernisasi yang semakin menggeliat dari waktu ke waktu menyebabkan segala dimensi kehidupan manusia kian tak mampu diredam dengan pola kebiasaan konvensional. Segala aspek kehidupan manusia selalu ada kaitannya dengan pola perkembangan zaman. Manusia tak lagi menguasai zaman, tapi zaman yang malah balik menguasai setiap denyut nadi manusia. Segala kompleksitas kehidupan manusia tak ubahnya seperti ilmu resultan yang sering menjadi bahan kajian para fisikawan. Akan seperti apa gaya atau vektor tentu tak terlepas dari resultannya. Orang bisa menilai bagaimana objektifitas gaya atau vektor apabila mempelajari seperti apa resultannya. Hal yang sama berlaku pada dinamika kontekstual saat ini. Setiap individu dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi terkini yang serba modern ini. Seperti apa tingkah pola manusia pada umumnya tak terlepas pada penyesuaiannya dengan zaman. Artinya bahwa setiap manusia akan tertinggal dan menjadi terisolir manakala tak berpatokan pada arus perubahan zaman.
Kompleksnya tatanan kehidupan, perubahan zaman yang bergulir cepat dari waktu ke waktu dan derasnya arus modernisasi adalah bagian dari seni kehidupan yang harus kita jalani dengan pijakan yang tepat. Tentu, arus modernisasi dengan segala kompleksitas dunia saat ini tidak akan cukup dijalani hanya dengan bekal ala kadarnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan sarana ampuh yang mampu menjembatani antara manusia dengan zaman agar manusia tidak terjebak pada krisis kepercayaan diri sebagai akibat dari ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan zaman.
Tentu, zaman yang dimaksud bukan zaman hura-hura, berpesta pora dengan segala kemewahan diri, bermabuk-mabukan, zina dan lain sebagainya. Melainkan zaman yang dimaksud adalah zaman yang tengah digalakkan oleh pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2020 lalu yaitu zaman Revolusi Industri 4.0.
Revolusi Industri
Menurut Kanselir Jerman, Angela Merkel (2014) Revolusi Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional.
Kemudian, menurut Schlechtendahl dkk (2015) pengertian Revolusi Industri menekankan kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yakni lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu dengan yang lain.
Sehingga, Revolusi Industri 4.0 adalah era industri di mana seluruh entitas yang ada di dalamnya dapat saling berkomunikasi secara real time kapan saja dengan berlandaskan pada pemanfaatan teknologi internet dan CPS guna mencapai tujuan tercapainya kreasi nilai baru agar tidak tertinggal pada pola-pola lama yang bersifat konvensional dalam berbagai bidang.
Dengan demikian maka sarana yang tepat untuk menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0 adalah keterpaduan pendidikan yang tidak berbasis pada ilusi dan gagasan baku yang serba monoton dan tidak kreatif. Jika para stakeholder pendidikan terjebak pada ilusi "menjadi pintar tanpa belajar, menjadi maju tanpa berpikir dan menjadi modern tanpa melek teknologi informasi", maka bersiap-siap untuk menjadi sampah dari pendidikan itu sendiri. Tidak ada cerita makanan menjadi matang tanpa energi panas, tidak ada juga cerita manusia menjadi matang tanpa keterpaduan belajar yang berbasis pada realitas. Keterpaduan belajar yang berbasis pada realitas yang dilakukan secara terukur dan ilmiah hanya bisa diperoleh melalui jalur pendidikan, sebab pendidikan adalah alat untuk mengubah ilusi menjadi realita, pendidikan sebagai media untuk mengintegrasikan kata dan perbuatan serta pendidikan yang mampu mengarahkan manusia pada ketercapaian Revolusi Industri 4.0.
Hari ini, masih banyak pekerjaan besar yang perlu diperbaiki di tatanan pendidikan kita. Pendidikan yang tak lagi berbasis pada nuansa kapitalis dan menekan rakyat kecil, pendidikan yang seolah menutup akses bagi orang yang tak berpunya. Orientasi pendidikan harus diarahkan pada sebuah pola yang dikelola secara terstruktur untuk melahirkan putra/putri terbaik bangsa yang tentu disesuaikan dengan pola perkembangan zaman. Negara harus hadir memberikan jaminan sebesar-besarnya pada setiap putra/putri bangsa agar memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan seluas-luasnya. Jangan malah negara hadir menjadi fasilitator utama dalam menyediakan berbagai fasilitas pendidikan yang layak bagi pemodal kelas kakap lalu mengabaikan kesempatan itu kepada masyarakat kelas bawah. Dalam persoalan ini, negara harus membuat sebuah kerangka pendidikan baru berbasis data yang fokus pada pengurusan administrasi kemudahan pendidikan bagi masyarakat kelas bawah dan berupaya membuka kesempatan berpendidikan seluas-luasnya bagi rakyat kecil agar kontribusi dan karya nyata generasi bangsa dari berbagai kalangan benar-benar terasa.
Dengan demikian maka fokus pemerintah dalam mengurusi pendidikan hari ini jangan pada kurikulum atau sistemnya, melainkan harus fokus pada proses pemerataan pendidikan di seantero republik ini. Kurikulum atau sistem pendidikan sejitu apapun tidak akan berhasil manakala tidak ditopang oleh pemerataan pendidikan yang tak memandang jawa/luar jawa dan kota/desa. Semuanya harus dikelola dengan pendekatan yang sama agar output yang dihasilkan juga menguntungkan peradaban bangsa ini kedepan.
Selain itu, potensi cipta, rasa, dan karsa harus tertanam pada diri siswa agar kelak mereka menjadi orang yang bernilai bukan menjadi orang yang hanya sebatas sukses dan berduit yang keuntungannya hanya dirasakan secara individual bukan sosial. Siswa seyogianya tidak hanya didorong untuk mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi juga harus mampu memanfaatkannya di tengah-tengah masyarakat dengan mengembangkan potensi dirinya atas dasar cipta, rasa dan karsa hingga mencapai tingkat kemandirian diri.
Komersialisasi Pendidikan
Setiap tanggal 2 Mei selalu dianggap sebagai hari sakral bagi para pelaku pendidikan, sebab hari ini upacara peringatan hari Pendidikan Nasional dilakukan di seluruh penjuru tanah air. Tapi apakah pendidikan Indonesia sudah benar-benar merdeka seutuhnya dari tangan-tangan yang tak bertanggung jawab? Jawabannya tentu tidak, kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan masih sering kita dengar. Tidak jarang banyak lembaga pendidikan yang dijadikan sebagai ladang bisnis oleh para konglomerat, alih-alih menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana menanam amal jariyah malah justru dijadikan sebagai lahan basah memungut keuntungan.
Terbukti bahwa era pasar bebas dan bisnis yang serba kompetitif saat ini berlaku apa yang diramalkan oleh Titus Maccius Plautaus (184 SM) bahwa “homo homini lupus” atau setiap orang bakal tega memakan orang lain. Hal tersebut ternyata menjadi sebuah kenyataan yang berlaku dalam dunia pendidikan terutama pada saat tahun ajaran baru, banyak perguruan tinggi menekan calon mahasiswanya dengan nominal rupiah yang tidak main-main besarannya.
Pendidikan dikomersilkan dengan alasan karena mutu pendidikan memerlukan biaya pendidikan yang memadai. Padahal terkadang sasarannya hanya untuk memuaskan kepentingan pribadi atau golongan, sehingga lembaga pendidikan yang bermutu dianggap sebagai sekolah yang mahal dan hanya dapat dinikmati oleh golongan orang the have atau golongan orang-orang berada. Sesuai dalam Filsafat Materialisme Marx yang menyatakan bahwa "sepanjang kehidupan manusia hidup dalam wilayah material yang nyata dalam rangka melakukan aktualisasi kebutuhan ekonomi, bahwa uang adalah sesuatu yang bernilai dan dapat mewujudkan kualitas manusia". Padahal faktanya sebesar apapun uang yang dianggarkan untuk meningkatkan kompetensi diri tidak akan menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas, manusia dengan sejuta kualitasnya hanya dapat dilahirkan dari proses-proses yang terjal dan berliku, butuh usaha penuh keseriusan dan tak kenal lelah untuk menggapainya. Tidak bisa hanya melalui gelontoran uang, sebab itu hanya menghasilkan manusia ilusi dan tak bernilai.
Berikut dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya komersialisasi pendidikan
di Indonesia :
1. Pendidikan Menjadi Mahal
Pendidikan menjadi “barang mewah” yang sulit dijangkau oleh masyarakat luas khususnya bagi yang kurang mampu. Hal ini dapat meningkatkan angka putus sekolah pada masyarakat kurang mampu yang akhirnya berdampak pada peningkatan pengangguran, anak jalanan, pekerja anak dan kriminalitas.
2. Gap (kesenjangan) dalam Kualitas Pendidikan
Lembaga yang menang dalam persaingan dan perburuan dana akan menjadi sekolah unggulan. Lembaga pendidikan yang kalah akan semakin terpuruk menjadi sekolah “kurang gizi”.
3. Diskriminasi
Kesempatan memperoleh pendidikan semakin sempit dan diskriminatif.
Masyarakat dari kelas sosial tinggi dapat memperoleh pendidikan relatif
mudah, sedangkan masyarakat yang berasal dari kelas sosial rendah
semakin sulit sehingga cenderung mendapatkan pendidikan yang seadanya.
4. Stigmatisasi
Adanya segregasi kelas sosial antara kaya dan miskin. Konsekuensinya
terjadi pelabelan sosial bahwa sekolah ternama adalah sekolah milik orang dari kelas sosial tinggi. Sebaliknya, sekolah sederhana adalah sekolah bagi masyarakat kelas sosial rendah. Masyarakat biasa yang bersusah payah menyekolahkan anaknya, harus menerima kenyataan menjadi warga kelas dua karena “sumbangan dana pendidikannya” rendah.
5. Perubahan Misi Pendidikan
Komersialisasi dapat menggeser “budaya akademik” menjadi “budaya
ekonomis” sehingga mengubah tujuan pendidikan yaitu untuk mencerdaskan masyarakat. Para pendidik kemudian berubah menjadi pribadi yang memiliki mentalitas “pedagang” daripada mentalitas pendidik. Mencari pendapatan tambahan lebih menarik daripada mengembangkan pengetahuan akibatnya lebih terdorong untuk mengumpulkan “kredit koin” daripada “kredit point”.
6. Memacu Komersialisasi dan Gaya Hidup “besar pasak daripada tiang”
Akibatnya banyak peserta didik dari kalangan kelas sosial tinggi yang
membawa barang mewah seperti mobil mahal ke sekolah.
7. Memperburuk Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan Kepemimpinan Masa Depan.
Adanya dorongan misi untuk meningkatkan akumulasi kapital sebesar-besarnya, lembaga pendidikan kemudian lebih banyak menerima pelajar-pelajar yang berasal dari kelas sosial atas walaupun memiliki kecerdasan yang sedang. Pelajar yang
berprestasi tetapi kurang mampu, tidak dapat sekolah atau melanjutkan
ke jenjang yang lebih tinggi. Keadaan ini dapat mengancam kepemimpinan masa depan. Sehingga mobilitas sosial vertikal hanya akan menjadi milik masyarakat yang mampu sekolah tinggi, meskipun secara intelektual sangat diragukan.
8. Rantai Kemiskinan Semakin Mustahil Diputuskan oleh Pendidikan.
Secara sederhana, rantai kemiskinan dapat digambarkan karena miskin orang tidak tidak dapat sekolah, karena tidak sekolah, seseorang tidak dapat pekerjaan yang baik karena tidak dapat pekerjaan sehingga menjadi miskin. Pendidikan sebagai alat pemberdayaan yang dapat memutus rantai kemiskinan (vicious circle of povery) semakin kehilangan fungsinya. Dalam konteks ini, komersialisasi pendidikan dapat mengarah pada pelanggengan “poverty
trap” jebakan kemiskinan.
Pada akhirnya, semoga melalui momentum Hari Pendidikan Nasional, 02 Mei 2021 kemarin dapat membuka mata batin kita semua, baik sebagai pelajar, guru, orang tua, masyarakat umum, hingga pemerintah agar dapat mengawal sebaik mungkin pendidikan Indonesia agar terhindar dari upaya-upaya komersial yang hanya menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain. Pendidikan juga harus diarahkan pada ketercapaian Revolusi Industri 4.0 agar para siswa berlomba-lomba meningkatkan kompetensi diri sehingga tidak mudah dilumpuhkan oleh zaman. Jangan menjadikan pendidikan hanya sebatas ilusi untuk merasakan sensasi kemewahan dunia tapi jadikan pendidikan sebagai alat untuk menumbuhkan mental kebermanfaatan kepada orang lain. ***munirpahlawan
0 Komentar
Terima Kasih telah mengunjungi dan memberikan saran komentar terhadap konten blog ini.